5 Persoalan Penulis Buku yang Berdampak Pada Pendapatan

5 Persoalan Penulis Buku yang Berdampak Pada Pendapatan

Enak ya jadi penulis buku kayak Dee Lestari, Andrea Hirata atau Asma Nadia. Bukunya laku keras. Duitnya banyak. Eh, bukunya banyak diangkat jadi film lagi. Hmm… pengen deh.

Menjadi penulis buku adalah impian sebagian orang. Dengan menulis buku, kita bisa mendapatkan duit. Selain itu kita juga bisa terkenal seperti para penulis buku di atas.

Tapi menjadi penulis buku di Indonesia itu gak mudah. Alih-alih dapat duit banyak dari hasil menulis buku, para penulis justru sering dihadapkan dengan sejumlah persoalan.

Yuk simak, beberapa persoalan yang biasa dikeluhkan para penulis buku di Indonesia.

1. Buku gak laku

Udah cape-cape mikir berbulan-bulan hingga bertahun-tahun buat nulis buku, eh bukunya gak laku. Gak diterima baik di pasaran. Padahal nulisnya udah ‘berdarah-darah’.

Tapi mau gimana lagi, mau sebagus apapun buku yang ditulis kalau udah dihadapkan ke pasar, udah beda lagi nasibnya. Ada juga penulis buku yang karyanya biasa-biasa aja, eh kok malah laku keras.

Itulah wajah perbukuan khususnya di Indonesia. Gak bisa diprediksi apakah buku yang diterbitin bakal laku apa enggak. Karena yang menentukan laku tidaknya buku adalah pasar. Tentu saja dengan promosi yang gila-gilaan oleh penerbit atau penulisnya sendiri.

Buku yang gak laku berdampak pada pendapatan sang penulis. Jadi mana mungkin dia punya penghasilan dari menulis buku kalau karyanya aja gak laku.

Maka, penulis harus mencari tahu, buku apa yang benar-benar bisa diterima pasar luas sehingga bukunya bisa laku. Atau paling tidak bisa diterima di kalangan pembaca.

Tapi buat kamu yang berencana nerbitin buku, jangan dulu mikirin bakal laku apa enggak. Baiknya sih nulis aja dulu. Laku gak laku itu urusan nanti. Yang penting udah nyoba nerbitin buku.

Ingat lho, kata sebagian orang, buku yang kita tulis dan diterbitkan itu ibarat anak yang kita lahirin sendiri.

2. Royalti relatif kecil

Hampir sebagian besar penulis buku mendapatkan royalti rata-rata dari buku yang laku. Royalti yang dibayarkan berkisar antara 10 persen hingga 15 persen. Royalti penulis buku biasanya dibayarkan di awal atau per enam bulan. Setelah itu royalti dipotong pajak 15 persen.

Sebagai contoh, Rahmat menerbitkan buku berjudul ABCD. Buku tersebut dicetak 3.000 eksemplar. Harga buku ABCD yang dijual di toko mencapai Rp 50.000 per eksemplar. Besaran royalti buku yang akan diterima Rahmat adalah sebagai berikut:

Harga buku x jumlah eksemplar x royalti. Itu artinya Rp 50.000 x 3.000 x 10 persen= Rp 15 juta. Kemudian pendapatan royalti penulis buku Rp 15 juta tadi dipotong pajak penghasilan 15 persen.

Jadi, jika buku ABCD laku semuanya, maka royalti yang diterima Rahmat adalah Rp 12.750.000. Sisanya, untung dari penjualan buku diterima oleh penerbit. Itu jika laku semua lho ya.

Simulasi penghitungan pendapatan royalti dari menulis buku di atas akan diterima jika Rahmat menggunakan sistem royalti.

Ada juga penerbit yang menawarkan skema jual putus. Besaran uang yang dibayarkan ke penulis dengan skema ini biasanya flat. Penerbit akan melihat topik buku, ketebalan buku hingga sepak terjang penulis untuk menghitung pembayaran skema ini.

Misalnya, Rahmat adalah penulis pemula yang menerbitkan buku ABDC. Oleh penerbit, buku Rahmat ditaksir Rp 2 juta hingga Rp 15 juta. Setelah tawar menawar, Rahmat pun setuju untuk menjual putus bukunya Rp 15 juta. Dengan skema ini Rahmat mendapat uang lebih dari simulasi skema royalti sebelumnya.

Namun, skema ini juga ada kekurangannya. Jika buku Rahmat laris dan dicetak ulang terus menerus, maka Rahmat tidak gak akan dapat keuntungan lagi karena sudah jual putus. Berbeda dengan skema royalti, jika terus dicetak ulang Rahmat akan terus mendapat royalti.

3. Pajak penulis

Di atas telah disinggung potongan pajak royalti dari penulis buku yang mencapai 15 persen. Hitungan tersebut telah ditetapkan sesuai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015.

Kalangan pengamat juga menyesalkan potongan pajak sebesar 15 persen ini dibebankan kepada penulis. Seperti dikutip Katadata.co.id, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan idealnya potongan pajak royalti buat penulis adalah 10 persen dari penjualan buku.

Persoalan pajak ini juga yang dikeluhkan penulis buku best seller Tere Liye. Potongan pajak terhadap penulis buku dianggap Tere terlalu besar. Dampaknya, dia memutuskan untuk tidak menerbitkan lagi buku di penerbit. Bagi Tere Liye, menulis bisa dilakukan di medium apa saja. Bukan hanya di buku yang dicetak.

Mungkin bagi penulis best seller, potongan pajak 15 persen tidak terlalu besar. Tapi bagi para penulis biasa yang bukunya gak laku-laku amat, potongan pajak tersebut bisa berdampak terhadap pendapatannya.

4. Obral buku

Kamu sering beli buku yang diobral penerbit gak? Kalau sering, beruntung deh kamu pasti dapat harga miring dari harga normalnya.

Tapi masalahnya, jika penerbit sering ngadain obral buku, tentu pendapatan buat si penulis berkurang dong. Soalnya, royalti yang diterima penulis dihitung berdasarkan harga buku yang terjual.

Sebagai contoh, harga normal buku ABCD yang ditulis Rahmat dijual di toko Rp 50.000. Dalam enam bulan kemudian, sang penerbit mengobral banyak buku termasuk buku ABCD dengan harga Rp 30.000.

Nah, jika harga buku ABCD udah berubah jadi Rp 30.000 dari sebelumnya Rp 50.000, maka royalti yang didapat Rahmat yaitu dari harga buku yang dijual Rp 30.000 tadi. Tentunya akan lebih kecil dibanding royalti ketika harga bukunya Rp 50.000 per eksemplar.

Jika harga buku yang diobral lebih rendah, otomatis royalti para penulis juga semakin berkurang.

5. Pembajakan buku

Masalah yang biasa dikeluhkan dari penulis buku berikutnya adalah pembajakan. Pembajakan buku adalah salah satu kejahatan intelektual yang sangat merugikan penulis dan juga penerbit.

Tak jarang buku-buku yang banyak dicari selalu dibajak orang dan dijual dengan harga murah. Pembeli buku pun tak sedikit lebih memilih buku harga murah dibandingkan buku asli yang harganya lebih mahal.

Pembajakan ini juga sangat berdampak pada pendapatan penulis buku. Semakin banyak buku dibajak, semakin kecil pendapatan penulis dari buku yang ditulisnya. Lha iya, wong buku yang diterbitkannya gak laku kok. Karena yang laku ya buku bajakan tadi.

Nah, beberapa persoalan di atas sering banget dikeluhkan para penulis buku. Secara langsung atau tidak mungkin berpengaruh pada pendapatan mereka. Semoga saja pihak-pihak terkait mendengar suara keluhan para penulis buku ini.

Cukup tragis memang menjadi penulis buku di Indonesia ini. Selain dikenakan pajak yang dinilai cukup besar, mereka juga dihadapkan oleh kenyataan bahwa minat baca di Indonesia masih rendah. Pada tahun 2016 saja minat baca di Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara.

Tapi jangan salah lho ya, bagi banyak orang menerbitkan buku bukan cuma masalah materi semata. Melainkan karena mereka benar-benar ingin berbagi ilmu, pengetahuan, pengalaman hingga berbagi cerita. Yuk, jadi penulis buku!