Mengenal Surat Perjanjian Jual Beli Apartemen PPJB yang Sah

bisnis sewa apartemen

Gak ada rotan, akar pun jadi. Karena rumah di tengah kota Jakarta udah sulit didapat, gak ada salahnya beli unit apartemen.

Yang penting gak tua di jalan karena mempersingkat jarak ke tempat kerja. Lagi pula, apartemen adalah aset investasi yang sangat bernilai di Jakarta. Apalagi kalau lokasinya di tengah-tengah kota.

Tapi membeli apartemen gak bisa dilakukan serampangan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar gak kena zonk alias kecewa berat saat akan membeli apartemen.

Contohnya ada yang menjual apartemen dengan PPJB atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Yang sering ditanyakan orang dalam hal ini adalah apakah pembelian apartemen dengan PPJB itu sah? Bagaimana nanti status sertifikatnya? Pajak siapa yang bayar?

Nah, sebelum menjawab sederet pertanyaan itu, sebaiknya kita kenali dulu jenis-jenis surat tanda kepemilikan apartemen.

1. PPJB

PPJB adalah tanda bahwa ada perjanjian transaksi yang mengikat antara penjual (developer) dan pembeli apartemen. Misalnya A sudah sepakat beli unit apartemen dari developer B. Artinya B gak boleh menjual unit itu ke orang selain A.

PPJB dibuat developer dan jadi surat bukti kepemilikan sementara selagi akta jual beli (AJB) diurus di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Biasanya PPJB disepakati kedua pihak tanpa ada tangan notaris  dan isinya bisa dinegosiasikan.

PPJB memuat informasi tentang hak, kewajiban, dan sanksi yang berlaku buat kedua pihak, misalnya:

  • Harga unit apartemen
  • Rincian luas unit
  • Pembayaran pajak
  • Waktu pelunasan
  • Waktu pembuatan AJB
  • Perizinan
  • 2. Akta Jual Beli

    AJB menjadi bukti bahwa sudah ada peralihan hak atas unit apartemen itu. Dalam pembuatan AJB ada keterlibatan pemerintah lewat PPAT.

    PPAT membuat AJB dengan dasar Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 08 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran Tanah. Jadi isinya gak bisa dimain-mainin.

    AJB baru bisa diurus dan diterbitkan kalau biaya-biaya yang timbul dalam pembelian properti, dalam hal ini apartemen, sudah dilunasi. Biaya tersebut antara lain:

  • Pajak Penghasilan (PPh) Final – Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan 5% dari harga total. Pajak ini dibayarkan oleh penjual properti.
  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN) – PPN dikenakan dalam pembelian properti berdasakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Pajak ini dibayarkan oleh pembeli properti. Gak perlu pusing mikirin PPN sebab biasanya harga total properti sudah termasuk PPN.
  •    Tapi, khusus unit apartemen seluas 150m2 atau lebih, ada pajak lain yang harus dibayar. Namanya Pajak          Penjualan Barang Mewah alias PPn-BM. Yang membayar, yaaa, siapa lagi kalau bukan pembeli.

  • Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)BPHTB juga wajib dibayarkan oleh pembeli. Bea ini sering disebut dengan Pajak Pembeli.
  • 3. Sertifikat Hak atas Satuan Rumah Susun (SHSRS)

    Sertifikat ini lebih beken dengan nama Strata Title kalau dalam bahasa pemasaran developer. SHSRS dibedakan jadi dua, yaitu sertifikat Hak Guna Bangunan(HGB)  Murni dan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan Lahan (HGB di atas HPL). Keduanya bisa dijadikan agunan kredit ke bank.

  • HGB Murni – Kalau sertifikat unit apartemennya HGB Murni, artinya pemilik cuma berhak atas unit itu. Sedangkan tanah apartemen dimiliki developer. Tanah ini nantinya diberikan ke semua pemilik unit yang dibangun developer atas nama kepemilikan bersama para pemilik.
  • HGB di atas HPL – Adapun  sertifikat HGB di atas HPL mirip dengan HGB Murni. Tapi tanahnya milik negara atau perusahaan BUMN. Tanah ini bisa dimiliki pemilik unit apartemen, tapi prosesnya lebih kompleks daripada HGB Murni
  • 4. Sertifikat Hak Milik (SHM)

    Kalau sertifikat-sertifikat properti ikut lomba, SHM juaranya.  Soalnya kekuatan hukum SHM adalah yang paling besar. Tapi sayang seribu sayang, jaraaaaang banget ada developer yang nerbitin SHM buat unit apartemennya.

    Penyebabnya, developer menargetkan warga negara asing juga buat beli apartemennya. Masalahnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria melarang WNA punya SHM. WNA boleh punya properti di Indonesia asal sertifikatnya hanya hak guna.

    Nah, setelah melihat daftar sertifikat di atas bisa disimpulkan bahwa PPJB adalah bukti tanda kepemilikan yang sah, tapi paling lemah. Tapi, kita tetap bisa aman membeli apartemen dengan PPJB saja. Sebab PPJB ini hanya bersifat sementara.

    Yang penting, pahami baik-baik dokumen perjanjian itu. Sebab surat itu dibuat di bawah tangan, gak ada saksi berupa notaris. Jangan sampai ada poin yang merugikan kita selaku pembeli, apalagi bukan pembeli pertama. 

    Bukannya curiga, tapi waspada. Siapa tahu developernya khilaf terus nulis “semua pajak dan biaya-biaya lainnya wajib dibayar pihak pembeli”. Kan, kawat, eh, gawaaat.

    Kalau kita beli unit apartemen bukan dari developernya langsung, pemilik pertama unit itu wajib meminta persetujuan developer dulu. Jadi pastikan proses itu sudah selesai, termasuk soal bayar uang muka, cicilan awal, pajak, dan lain-lain kalau belinya kredit.

    Lalu, biarpun developer yang membuat PPJB, pemerintah punya patokan tentang perjanjian semacam itu. Kita bisa mencotek isi Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Ruman Susun untuk dibandingkan dengan PPJB bikinan developer.

    Kalau sampai isi PPJB melenceng jauh, say goodbye aja, cari developer lain. Tapi, kalau oke-oke saja, tancap gas, lalu awasi proses selanjutnya sampai sertifikat kepemilikan yang lebih kuat keluar.