Selain Krakatau Steel, Ada Perusahaan BUMN yang Juga Catatkan Kerugian Lho

PT Krakatau Steel, Salah Satu Perusahaan BUMN yang Merugi (Dok Krakatau Steel).

Heboh berita tentang masalah yang dialami PT Krakatau Steel (Persero), Tbk. bikin publik bertanya-tanya. Selain perusahaan penghasil baja ini, perusahaan BUMN terbuka mana lagi yang mencatat kerugian dalam laporan keuangannya?

Persoalan yang dihadapi Krakatau Steel emang cukup pelik. Selain kerugian yang diderita, perusahaan BUMN ini juga dilaporkan memiliki utang yang nilainya mencapai Rp 35 – 40 triliun.

Gara-gara masalah-masalah tersebut, Krakatau Steel diberitakan bakal melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawannya. Seperti yang dikabarkan CNBC Indonesia, ada perampingan sekitar 2.400 karyawan di dalam BUMN ini. Tentu aja kabar adanya PHK di dalam perusahaan BUMN ini sama sekali gak diharapkan.

Bikin penasaran, emangnya udah berapa lama Krakatau Steel menderita kerugian? Lalu, perusahaan BUMN terbuka mana aja yang juga merugi? Cari tahu yuk jawabannya dalam ulasan berikut ini.

1. Krakatau Steel (Persero), Tbk. (KRAS)

Perusahaan BUMN yang satu tercatat menderita kerugian sejak 2012 hingga sekarang. Itu berarti dalam lima tahun terakhir, Krakatau Steel masih menanggung kerugian sekalipun tiap tahunnya memperoleh pendapatan atau revenue yang kadang naik atau kadang turun.

Krakatau Steel telah ada sebagai badan usaha milik negara atau BUMN sejak 31 Agustus 1970. Krakatau Steel memfokuskan bisnisnya sebagai penghasil baja dan produk-produk turunannya.

Berstatus sebagai perusahaan terbuka, Krakatau Steel telah mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia pada 10 November 2010. Saat itu harga perdana saham perusahaan BUMN ini tercatat sebesar Rp 850 per lembarnya.

Sempat naik, harga saham selama lima tahun terakhir cenderung menurun. Penurunannya sejalan dengan menurunnya profit perusahaan ini dari 2011 lalu terus turun hingga mengalami kerugian dalam lima tahun terakhir. 

Pada semester tahun ini aja, Krakatau Steel membukukan kerugian sebesar US$134,95 juta. Lebih tinggi dibanding dari kerugian pada semester tahun 2018.

Saham Krakatau Steel dipegang Pemerintah Indonesia sekitar 80 persen. Sementara sisanya dimiliki masyarakat umum.

2. Indofarma (Persero), Tbk. (INAF)

Perusahaan BUMN lainnya yang juga merugi adalah PT Indofarma (Persero), Tbk. Perusahaan yang berbisnis produk-produk farmasi ini alami kerugian pada 2013 lalu sempat membaik dan merugi lagi pada tahun 2016 hingga sekarang.

Perusahaan Indofarma telah ada sejak zaman Hindia Belanda pada 1918. Lalu dinasionalisasi Pemerintah Indonesia dan menjadi perusahaan BUMN hingga saat ini. PT Indofarma (Persero), Tbk. mulai masuk di Bursa Saham Indonesia (BEI) pada 17 April 2001.

Harga perdana saham dengan kode INAF ini adalah Rp 250 per lembarnya. Gak seperti saham KRAS, harga saham INAF saat ini justru lebih mahal dibanding harga IPO. Harga per lembar saham INAF baru-baru ini berada di kisaran angka Rp 2.080 per lembar.

Sayangnya, perusahaan yang memproduksi beberapa jenis obat generik ini mencatat kerugian pada tahun 2018. Saat itu Indofarma diberitakan mencetak kerugian sebesar Rp 32,7 miliar.

Sejauh ini saham INAF dimiliki Pemerintah Indonesia dengan persentase sekitar 80 persen. Sementara sekitar 11 persen dimiliki masyarakat. Sementara sisanya dimiliki PT ASABRI (Persero).

3. Garuda Indonesia (Persero), Tbk. (GIAA)

Perusahaan penerbangan milik negara ini diketahui pernah mencetak kerugian beberapa kali. Dalam kurun waktu lima tahun, PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk. udah mencetak dua kali kerugian.

Pada 2014, Garuda Indonesia mencatatkan kerugian Rp 4,8 triliun. Lepas dari 2014, kondisi keuangan perusahaan BUMN ini pulih hingga akhirnya merugi pada tahun 2017. BUMN ini dilaporkan mencetak kerugian sebesar Rp 2,88 triliun pada tahun 2017.

Untungnya, keuangan Garuda Indonesia kembali pulih mulai dari tahun 2018. Walaupun sempat ramai diberitakan karena masalah laporan keuangan, perusahaan BUMN ini meraih laba pada semester I tahun 2019 ini sebesar US$ 24,11 juta atau sekitar Rp 344 miliar.

Garuda Indonesia didirikan pada 1 Agustus 1947. Maskapai penerbangan ini mulai tercatat di bursa sejak 11 Februari 2011. Harga perdana sahamnya dengan kode GIAA saat itu di angka Rp 750 per lembar. Walaupun sempat naik, harganya belakangan ini cenderung menurun dan berada di kisaran Rp 382 per lembarnya.

Pemilik terbesar saham GIAA udah pasti adalah Pemerintah Indonesia dengan persentase 60 persen. Sementara sekitar 25 persen dimiliki PT Trans Airways yang merupakan perusahaan milik Chairul Tanjung. Lalu, sisanya dimiliki masyarakat umum.

Itu tadi beberapa perusahaan BUMN berstatus terbuka yang mengalami kerugian. Walaupun ada yang masih merugi, gak menutup kemungkinan kondisi keuangannya bakal pulih kembali. Semoga! (Editor: Winda Destiana Putri).