Dear Dealer Motor Nakal, Kenapa Sih Maksain Sistem Penjualan Kredit ke Konsumen, Meski Maunya Beli Lunas dengan Tunai?

surat perjanjian over kredit motor

Bukan rahasia lagi kalau – sejumlah, tidak semuanya – dealer sepeda motor lebih mendahului penjualan kredit daripada tunai keras. Paling kentara terlihat dari perlakuan sales-nya kepada konsumen. Mereka yang berniat beli motor secara kredit bakalan lebih cepat diproses dan dapat ‘keramahan’ yang lebih. Intinya, yang beli secara kredit lebih dihormati.

Cerita akan lain kalau belinya tunai. Oknum sales berusaha habis-habisan membujuk konsumen mengurungkan niatnya itu. Bila tetap bersikeras maka sales bakal bersedia menyanggupi tapi dengan syarat unit yang diincar mesti inden dulu yang waktunya tak tentu. Bisa sebulan atau lebih.

Bukan itu itu saja, oknum sales dealer motor nakal ini juga melontarkan ‘ancaman halus’ kalau motor yang dibayar tunai bakal lama dikirimkan ke rumah konsumen. Bahkan, pengurusan surat-surat kendaraan juga bisa molor.

Fenomena ini sudah terjadi sejak dulu. Cuma asal tahu saja, ini adalah tindakan oknum atau akal-akalan dealer motor nakal. Pihak produsen dalam hal ini ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) berkali-kali menegaskan tak terlibat dalam permainan tersebut.

Pemicu

Kenapa ya beli kredit selalu diistimewakan? Kenapa bisa begitu?

Sederhana sekali jawabnya. Memburu komisi dari pihak leasing yang bekerja sama dengan dealer! Pihak leasing tak segan-segan mengiming-imingi sales atau dealer dengan besaran komisi yang yahud. Bahkan kalau mencapai target, bakalan ada tambahan bonus juga.

Latar belakang inilah yang membuat ada segelintir dealer lebih menyukai pembelian kredit karena pihak leasing memberikan subsidi dan insentif. Di mata pihak leasing, dealer dan sales adalah ujung tombak utama mendapatkan nasabah.

Gampangannya gini, besaran komisi yang didapat sales kalau melayani konsumen yang beli tunai ada di kisaran Rp 100 ribu per unit. Bandingkan kalau berhasil menjual secara kredit dengan merekomendasikan sebuah perusahaan leasing, maka sales bisa dapat minimal Rp 300 ribu.

Oh iya, besaran komisi itu juga tergantung banget sama paket kreditnya. Makin panjang tenor kredit, bisa jadi komisinya makin gede. Alasan inilah yang memotivasi sebagian oknum sales menerapkan trik mendahului jualan kredit daripada tunai.

Itu baru dari pihak leasing ya. Belum lagi dari asuransi. Ingat lho, motor yang kredit itu wajib hukumnya diasuransikan. Dari sini sudah terlihat berapa fulus yang bisa dikantongi sales kalau melayani pembelian kredit.

[Baca: Asuransi Kredit Motor Bukan Sekadar Tambah Pengeluaran]

Jadi, bila ada sales yang menolak melayani pembelian tunai dan lebih condong ke kredit, bisa dipastikan itu akal-akalan saja biar dapat insentif atau bonus lebih besar dari leasing. Oh iya, kasus beginian tak hanya terjadi di dealer roda dua saja ya, dealer roda empat pun juga sama. Tak cuma satu merek, melainkan hampir sebagian besar ada oknum-oknum seperti ini.

Situasi ini kadang turut didukung dari tingginya permintaan pasar terhadap jenis sepeda motor tertentu. Ketika ada motor yang lagi hot dan jadi incaran banyak orang, maka ini jadi peluang emas bagi segelintir dealer dan oknum sales ‘bermain’.

Setidaknya ada dua permainan yang lazim diterapkan oknum-oknum ini. Pertama adalah upping price.

Modus upping price ini jelas membuat buntung konsumen karena tidak mendapatkan harga yang telah dipatok pabrikan. Oknum memanfaatkan tingginya permintaan dan langkanya pasokan untuk menaikkan harga sesuka hati.

Kedua, hanya bersedia melayani pembelian kredit. Konsumen tak bakalan bisa mendapatkan unit kalau membeli secara tunai. Kalau pun bisa, biasanya disanggupi tapi dengan catatan mesti inden dulu.

Si oknum tadi berusaha dengan segala cara membelokkan rencana pembelian tunai ke kredit. Pokoknya, konsumen dipaksa beli kredit.

Solusi

Fenomena pemaksaan konsumen beli motor secara kredit bukan isapan jempol. Kasus ini mencuat setelah ada konsumen yang menuliskan keluhan masalah itu ke sebuah media dalam bentuk surat pembaca. Spontan saja kasus ini seperti bola salju yang membuat petinggi-petinggi ATPM angkat bicara.

Memang tak ada jaminan 100 persen praktik seperti ini dihapuskan. Meski begitu, pihak ATPM berupaya melakukan inisiatif untuk menekan merajalelanya ‘mafia kredit’ tersebut.

Misalnya dengan menerapkan sistem inden portal yang tak bisa diubah. Maksudnya, sistem itu akan membuat seluruh dealer menggunakan nomor urut inden yang sama. Jadi, nomor urut inden konsumen berlaku di seluruh dealer.

Inisiatif kedua dari ATPM adalah membuka pengaduan baik online maupun call center. Misalnya saja Yamaha yang membuka pengaduan di http://www.yamaha-motor.co.id/contact-us.html. Sedangkan call center nya di (021) 2457-5555, 461-8000 (Hunting).

Sedangkan motor Honda bisa lewat Honda Customer Care di nomor telepon  1-500-989, 08119500989 (SMS), atau email customercare@astra-honda.com.

Berikan informasi dengan detail seperti kronologi, nama dealer, dan oknum sales. Pihak ATPM sudah menyiapkan sanksi bagi dealer dan oknum sales yang nakal.

Atau kalau masih belum mempan juga aduannya, bisa berinisiatif menuliskan pengalaman buruk itu lewat sosial media maupun ke surat pembaca media mainstream. Biasanya keluhan itu bakal direspons cepat karena menyangkut citra dari sebuah produk.

Bisa juga meminta bantuan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) agar segera ditindaklanjuti.

[Baca: Cara Efektif Konsumen Ajukan Komplein]

Kesimpulannya, fenomena dealer atau oknum sales yang mementingkan jualan kredit bukan isapan jempol belaka. Meski begitu, masih banyak dealer sepeda motor yang jujur. Sudah menjadi tugas kita mendukung dealer yang jujur sehingga pelan-pelan fenomena ini bisa lenyap.

Kalau pun ada dealer yang masih menerapkan praktik diskriminasi sama pembeli tunai, mending tinggalkan saja. Toh masih banyak dealer yang berlaku jujur.

Lagi pula sebagai konsumen, kita punya power kok. Kalau kita memboikot membeli produk dari sebuah ATPM, apa enggak bangkrut itu produsen?